Beranda | Artikel
Fikih Utang Piutang (Bag. 9): Faidah-Faidah dari Ayat Utang Piutang
10 jam lalu

Sebagaimana yang telah diketahui, Al-Qur’an adalah salah satu di antara mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalamnya terdapat banyak sekali pelajaran, sebagai kitab yang menunjukkan hamba-hamba yang bertakwa. Allah Ta’ala berfirman,

الۤمّۤ ۚ ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ

“Alif Lām Mīm. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya. (Ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 1-2)

Di dalam Al-Qur’an pun Allah menjelaskan bahwasanya Al-Qur’an telah menjelaskan semua hal. Allah Ta’ala berfirman,

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ ࣖ

Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim.” (QS. An-Nahl: 89)

Di antara yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an adalah tentang utang-piutang. Bahkan ayat tentang utang piutang menjadi ayat terpanjang di dalam Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah di dalam kitab tafsirnya, yang menunjukkan betapa pentingnya permasalahan utang piutang, mengingat utang sangat erat kaitannya dengan hak sesama manusia.

Oleh karena itu, pada pembahasan ini akan dipaparkan ayat tentang utang piutang, bersama dengan banyak pelajaran yang dapat dipetik dari ayat tersebut.

Allah Ta’ala berfirman di dalam surah Al-Baqarah ayat 282,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya..”

Faidah dari potongan ayat ini:

  • Boleh hukumnya melakukan segala akad utang piutang. Karena pada ayat ini, Allah menjelaskan utang-piutang yang dilakukan oleh orang-orang beriman sebagai bentuk persetujuan hukum, sekaligus menyebutkan tentang hukum-hukumnya. Hal ini menunjukkan akan bolehnya utang piutang.
  • Dari ayat di atas dapat diketahui, bahwasanya dalam akad utang piutang harus jelas waktu tenggang utang tersebut. Maka tidak sah akad utang piutang yang berdasarkan waktu yang tidak diketahui.
  • Pada ayat ini, terdapat petunjuk Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka melakukan penulisan dalam muamalah yang bersifat utang piutang.
  • Terdapat perselisihan di antara para ulama terkait perintah menulis utang. Sebagian mengatakan wajib dan sebagian mengatakan sunah. Tentunya yang terbaik adalah tetap menulis utang tersebut, berupa nominal dan waktu tenggangnya.

Sebab, jika tidak ada penulisan di atas kertas ataupun kesepakatan antara pihak pengutang dengan pemberi utang, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan, lupa, perselisihan, pertentangan, keributan, dan lain sebagainya.

Walaupun akad di antara keluarga, saudara, teman dekat, dan lain sebagainya, justru penulisan lebih ditekankan lagi dalam keadaan itu agar tidak dianggap ringan. Karena seringkali perselisihan utang itu justru terjadi di antara keluarga maupun saudara.

Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,

وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ فَلْيَكْتُبْۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔاۗ

“Hendaklah seorang pencatat di antara kamu menuliskannya dengan adil (benar). Janganlah pencatat menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya. Hendaklah dia mencatat(nya) dan orang yang berutang itu mendiktekan(nya). Hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Rabbnya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun.”

Faidah dari potongan ayat ini:

  • Ayat ini menjelaskan tentang tata cara menuliskan utang sesuai yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala.
  • Allah Ta’ala menyebutkan tentang sifat penulis utang, yaitu hendaknya penulis utang bersifat adil dan benar. Karena orang yang fasik tidak dianggap ucapan dan penulisannya. Penulis tidak boleh memiliki kecondongan kepada salah satu pihak.
  • Penulis tidak boleh menambah atau mengurangi kesepakatan yang ada di antara kedua belah pihak.
  • Tidak berhak bagi penulis yang telah Allah berikan kepadanya ilmu penulisan untuk menolak menuliskan utang piutang jika diminta untuk menuliskan, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan di atas. Mengingat di zaman dahulu, tidak banyak yang bisa membaca dan menulis.
  • Allah memerintahkan, agar penulis tidaklah menulis kecuali yang didiktekan oleh pengutang.

Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,

فَاِنْ كَانَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِالْعَدْلِۗ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَۤاءُ اِذَا مَا دُعُوْا ۗ

“Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada). Sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil.”

Faidah dari potongan ayat ini:

  • Barangsiapa yang tidak mampu untuk mendiktekan, baik karena usianya yang masih kecil, kurang akalnya, bisu, atau yang sejenisnya, maka dalam hal ini digantikan atau diwakilkan oleh walinya dalam hal mendiktekan dan persetujuan.
  • Disyaratkan bagi wali untuk memiliki sifat adil, karena selain dari penulis yang harus memiliki sifat adil dan tidak fasik, pendikte pun tidak boleh memiliki sifat-sifat tersebut.
  • Jika sudah didiktekan oleh wali, maka hak menjadi untuk yang diwakilkan (pengutang), bukan untuk wali.
  • Persetujuan yang dikeluarkan oleh anak yang masih kecil, kurang akal, orang gila, dan lain sebagainya, tidaklah sah. Karena pada ayat ini, Allah menjadikan pendiktean bukan dari mereka, namun digantikan oleh wali mereka. Sebagai bentuk kelembutan dan kasih sayang Allah kepada mereka. Dikhawatirkan terdapat kerugian pada harta mereka.
  • Diperintahkan untuk menyaksikan akad yang ada di antara kaum muslimin. Kendati perintah ini dalam bentuk anjuran, namun tujuannya adalah sebagai bentuk petunjuk dalam menjaga hak-hak. Dan hal ini kembali maslahatnya kepada orang yang melakukan akad tersebut. Menjadi wajib jika transaksi dilakukan oleh wali anak yatim.
  • Jumlah saksi dalam harta atau yang sejenisnya yaitu: 2 orang laki-laki atau 1 orang laki-laki dengan 2 orang wanita.
  • Perlu diketahui bahwa persaksian anak kecil tidak dapat diterima dan persaksian para wanita dalam masalah harta, jika bersendirian dalam persaksian tersebut juga tidak diterima. Kecuali jika terdapat laki-laki padanya.
  • Bagi seorang saksi, jika khawatir lupa akan persaksiannya, maka ia wajib untuk menuliskan persaksiannya tersebut.
  • Wajib bagi saksi jika tidak ada uzur untuk hadir jika diajak untuk melakukan persaksian atas sebuah akad.

Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَسْـَٔمُوْٓا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلٰٓى اَجَلِهٖۗ ذٰلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدْنٰىٓ اَلَّا تَرْتَابُوْٓا اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَاۗ وَاَشْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

“Janganlah kamu bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perniagaan tunai yang kamu jalankan di antara kamu. Maka, tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak mencatatnya. Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Faidah dari potongan ayat ini:

  • Pada ayat di atas, terdapat larangan dari merasa bosan atau malas dari mencatat utang kendati utang itu sedikit maupun banyak, kecil ataupun besar.
  • Terdapat hikmah di dalam pensyariatan penulisan dan persaksian utang-piutang, yaitu berupa keadilan dan tidak adanya sengketa, perselisihan, dan pertengkaran jika hal tersebut benar-benar diterapkan.
  • Pada ayat ini terdapat rukhsah (keringanan) untuk tidak menulis. Yaitu dalam hal jual beli yang sifatnya cash dan tidak ada utang-piutang padanya. Namun, tetap disyariatkan adanya saksi dalam jual beli.
  • Tidak bolehnya penulis dan juga saksi merugikan pemilik hak dengan cara mempersulitnya, meminta upah yang besar, atau menuliskan dan memberikan saksi hal yang tidak sesuai realita dan lain sebagainya. Mengingat jika hal tersebut dilakukan, penulis dan saksi akan terkena salah satu dari pada keharaman. Yaitu sebuah kefasikan.
  • Kemudian di akhir ayat Allah menutup dengan takwa, hendaknya orang-orang yang melakukan akad utang-piutang memiliki perangai dari takwa kepada Allah Ta’ala.

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 8

***

Depok, 1 Rabi’ul Akhir 1447/ 23 September 2025

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi:

  • Tafsir Ibnu Katsir, karya Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir rahimahullah.
  • Fathul Qadir, karya Imam Asy-Syaukani.
  • Taisir Kariimir Rahmaan fi Tafsiri Kalamil Mannan, karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah.

Artikel asli: https://muslim.or.id/109340-fikih-utang-piutang-bag-9.html